Solsel, kopasnews.com – Home Industri Bioenzym Karya Baru Solok Selatan, Sumatera Barat, belum bisa memenuhi tingginya permintaan pasar. Hal ini disebabkan karena keterbatasan limbah sampah pasar dan limbah rumah tangga untuk dikelola menjadi pupuk organik cair.
“Bupati Kepulauan Meranti, Provinsi Riau membutuhkan 85 ton Bioenzym yang kita produksi untuk penyemprotan kelapa sawit. Tapi kita belum menyanggupi sebanyak itu, sebab rata-rata produksi kita sebulan hanya 4 ton,” kata Pemilik Home Industri Bioenzym Karya Baru, Bustanul Deno, Senin (3/10/2022) di Padang Aro.
Baca Juga : Wakil Gubernur Sumbar Pantau Produk Lokal Daerah Solsel
Dia menyebut permintaan 85.000 liter dari Pemerintah Kepulauan Meranti merupakan permintaan pasar terbanyak selama ia memproduksi Bioenzym sejak tahun 2020 lalu.
Kegunaan pupuk organik cair oleh pemerintah setempat untuk penyemprotan pada tanaman kelapa sawit, dan membutuhkan pupuk cair yang memiliki kasiat untuk pertumbuhan dan perkembangan sawit di Meranti.
“Kalau permintaan 85 ton bioenzym oleh Pemkab Meranti di rupiahkan, nilainya sangat tinggi miliaran,” ujar mantan Jurnalistik itu.
Dengan tidak disanggupinya permintaan Bupati Meranti, akhirnya Home Industri Bioenzym Karya Baru menolak permintaan kebutuhan pupul cair tersebut.
Sebab buah-buah dan sebagian sayuran yang bisa dimamfaatkan untuk pengolahan bioenzym harus melalui proses memilih dan memilah, tidak semua limbah sayur dan buah-buahan yang digunakan.
“Disetiap pasar kita hanya mendapatkan limbah sayur dan buah-buahan rata-rata 120 kilogram. Jumlah ini hanya kisaran 4 ton perbulan,” jelasnya.
Bustanul Deno mencontohkan, bawang dan kol jenis sayuran yang mengandung unsur kimia yang tinggi, jadi tidak semua sayuran dapat diolah dan difragmentasi jadi bioenzym. Hal ini dalam menjaga kualitas produk pupuk cair buatan industri rumah tangganya.
Maksimal produksi bioenzym dari pengolahan limbah sekitar 30 ton yang disanggupi per tahunnya, selam ini Bustanul hanya terfokus pengumpulan limbah di dua pasar Kabupaten seperti di Sangir dan di Muara Labuh.
“Kemampuan home industri kita hanya maksimal 30 ton per tahun. Permintaan sekarang 85 ton, yang sulitnya limbah yang akan difragmentasi jadi bioenzym,” tuturnya.
Baca Juga : FKPPI Dorong Pengolahan Limbah Kulit Durian Jadi Pupuk Bioenzim
Dari cerita Bustanul, permintaan terbanyak dari komsumen pada akhir September 2022 ini tertinggi semenjak dia melakukan pengolahan dan pemasaran produk pupuk organik cair tersebut.
Belum bisa dipenuhinya kebutuhan 8.500 liter tersebut karena kondisi limbah yang tidak akan dapat terkumpul sesuai kebutuhan 30 ton hingga akhir tahun 2022.
Dia harus merelakan peluang emas yang didapatkanya jelang akhir tahun, yang akan dimamfaatkan oleh Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau. Deno mengaku tidak ingin mengecewakam pelanggannya sehingga hasil pengolaham bioenzym betul-betul kaya mamfaat dan kandungan enzym.
“Kalau kita paksakan bisa sih untuk memenuhi permintaan pasar, nanti takutnya mereka kecewa. Jika permintaan sekaligus tersebut tidak mampu kita koomodir hingga awal tahun 2023,” paparnya.
Dia mengatakan, semoga kedepan Bioenzym hasil fragmentasinya terus menjadi buruan para petani yang selalu mengandalkan pupuk alami dan bebas zat kimia.
Pengolahan bioenzym hingga jadi pupuk organik cair melalui proses yang cukup panjang dengan memilih dan memilah bakan baku limbah.
“Proses sampai menajadi enzym kita butuh waktu selama tiga bulan, sehingga emzym yang kita hasilkan betul-betul menjadi pupuk untuk pertumbuhan tanaman dan lainnya,” ucapnya.
Pria yang tinggal di KM 44 Pakan Sari, Nagari Alam Pauh Duo, Kecamatan Pauh Duo, Kabupaten Solok Selatan.
(adi)