Jakarta, kopasnews.com – Dunia diprediksi akan memasuki era baru krisis stagflasi hebat yang belum pernah terjadi sebelumnya, bahkan disebut terparah dari krisis yang melanda dunia di tahun 2008 lalu.
Hal ini diungkapkan oleh Profesor Ekonomi New York University, yang juga merupakan Ekonom Top Dunia, Nouriel Roubini.
Dari pandangannya tentang masa depan ekonomi global ini Roubini menceritakan dalam artikel di Majalah Time, dengan judul agak spektakuler; “We’re Heading for a Stagflationary Crisis Unlike Anything We’ve Ever Seen” terbit Kamis (13/10/2022) lalu .
Dalam artikel itu, dituliskannya ekonomi telah teracuni kombinasi antara pertumbuhan yang rendah dan inflasi yang tinggi, atau stagflasi yang membawa dunia pada “massive insolvencies and cascading financial crises” hingga beberapa tahun ke depan.
Argumen Mr. Kiamat sapaan Nouriel Roubin berdasarkan pada gagasan bahwa saat ini dunia sedang memasuki era baru ekonomi global setelah era hiper-globalisasi, geopolitik yang relatif stabil, dan inovasi teknologi yang telah menjaga tingkat inflasi sejak era perang dingin.
Baca Juga : Kasus Kekerasan Tertinggi Terhadap Wanita di Dunia Berada di 10 Negara Ini
Reputasi ekonom aliran ‘pesimis’ ini bukan kaleng-kaleng, tapi mendunia berkat ramalan tepat atas krisis suprime mortgage di Amerika Serikat (AS) pada 2008, yang menjadi krisis global.
Hebatnya, dia mengatakan bahwa perekonomian AS akan mengalami krisis akibat krisis perumahan pada 2006, ketika banyak bank investasi membuat prediksi ekonomi akan bullish.
Ramalan Roubini benar-benar menjadi nyata. Dimulai oleh krisis pasar perumahan AS pada 2007 dan Fed tak mampu berbuat apa-apa sehingga meledak jadi krisis global 2008.
Kini, setidaknya ramalan kecil Mr. Kiamat soal resesi ekonomi AS yang diprediksi jauh hari juga terbukti nyata. Secara teknikal AS tahun ini sudah resesi, hanya saja belum secara formal, karena sektor lapangan pekerjaan masih kuat, katanya.
Era baru ini menurut Mr. Kiamat diakibatkan oleh tren pemicu inflasi yang mulai meningkat, seperti populasi menua, perubahan iklim, gangguan pasokan, proteksi dagang, atau ‘the reshoring of industry’ yakni tren ‘pulang kampung’ pembisnis global yang mulai menarik kembali investasinya ke negeri asal.
Baca Juga : Wantanas Kaji Isu Strategis Nasional di Solok Selatan
Sebagai respon inflasi, kata dia, bank sentral-bank sentral akan dipaksa menaikkan suku bunga kembali pada level yang normal, setelah sekian lama suku bunga bergerak berlawanan arah.
“Normalisasi kebijakan moneter yang cepat dan kenaikan suku bunga akan mendorong rumah tangga, perusahaan, lembaga keuangan, dan pemerintah ke dalam kebangkrutan dan gagal bayar utang,” papar Roubini.
Dia mengajukan bukti angka rasio jumlah utang swasta dan publik terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) global yang telah melonjak dari 200 persen pada 1999 menjadi 350 persen tahun ini.
Itu benar-benar angka yang mengerikan.
Bahkan, Roubini berargumen, dampak pengetatan kebijakan moneter sebetulnya sudah terasa sekarang. Gelembung di sektor-sektor ekonomi mulai kempis di mana-mana, termasuk ekuitas publik dan swasta, real estate, perumahan, saham-saham viral, kripto, bisnis akusisi, obligasi dan instrumen kredit lainnya. Kekayaan aset riil dan finansial telah merosot, dan utang serta rasionya meningkat.
Apa yang gelap adalah karena yang bakal terjadi nanti tidak pernah ditemui pada krisis-krisis sebelumnya. Pada krisis 1970-an, stagflasi tidak dibarengi dengan krisis utang karena jumlah utang waktu itu rendah. Pada krisis global 2008, ledakan krisis utang dunia tidak dibarengi dengan tingkat inflasi yang tinggi.
Hari ini, dunia menghadapi kedua-duanya, sehingga yang bakal terjadi adalah kombinasi antara krisis stagflasi 1970-an dengan krisis utang global 2008. Double, combo!
Kali ini, Roubini tak sendiri. Bank Dunia jauh-jauh hari sudah mengatakan pada Juni lalu, ada risiko besar stagflasi global akibat pandemi Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina.
Di Indonesia, mulai dari Presiden Joko Widodo, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjio, Ketua OJK Mahendra Siregar sudah sering menggunakan istilah “kekacauan” atau “badai yang sempurna” untuk mengambarkan situasi yang akan dihadapi dunia termasuk Indonesia, dilansir dari CNBC Indonesia. (*)